• Seperti biasa, penampilan Manchester City dibawah arahan Pep Guardiola musim ini sangat menawan. Mereka memimpin klasemen sementara Premier League dengan perolehan 59 poin, unggul 11 poin dari peringkat dua Liverpool yang baru mengumpulkan 48 poin (masih ada cadangan satu laga), dan 12 poin dari Chelsea diperingkat ketiga
  • Negeri ini tidak pernah habis akan sensasi. Semua saling sikut hanya demi sebuah gengsi, yang kulihat belakangan ini satu sama lain malah saling ingin menghabisi. Betapa sedihnya melihat kondisi negeri ini
  • Arsenal kembali menjalani tren buruk di Premier League, seolah menjadi lanjutan dari apa yang dialami musim lalu, yang membuat mereka harus rela duduk diposisi ke delapan klasemen akhir, plus kehilangan kesempatan untuk main dikompetisi tertinggi antar klub Eropa, Liga Champion untuk kesekian kalinya
  • Awalnya Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa musim lalu Chelsea yang akan keluar sebagai juara Liga Champion. Semua terjadi seakan-akan memang Chelsea sudah ditakdirkan untuk meraih trofi si kuping besar, mulai dari pembagian grup yang relatif lebih mudah, hingga jalan menuju final yang terbilang mulus tanpa hambatan
  • Emiliano Martinez menjadi salah satu nama yang paling sering berseliweran di jagat berita dan media sosial setelah keberhasilan Argentina menjadi juara Copa America 2021. Yang membuatnya menjadi bahan obrolan tentu saja berkat aksi gemilangnya sepanjang turnamen, dan bagaimana saat ia berhasil menepis tiga eksekusi penalti Kolombia yang terjadi saat babak adu penalti di semifinal

1/26/22

Manchester City Tidak Perlu Striker, Pep?

Oleh : Ary Ditio Baihaqi (@arybaihaqi_10)

Seperti biasa, penampilan Manchester City dibawah arahan Pep Guardiola musim ini sangat menawan. Mereka memimpin klasemen sementara Premier League dengan perolehan 59 poin, unggul 11 poin dari peringkat dua Liverpool yang baru mengumpulkan 48 poin (masih ada cadangan satu laga), dan 12 poin dari Chelsea diperingkat ketiga.

Manchester City Premier League Pep Guardiola

Baru ada dua tim yang mampu mengalahkan Manchester City-nya Pep di Premier League musim ini yaitu Crystal Palace dan Tottenham. Itupun sebenarnya mereka menguasai pertandingan dengan penguasaan bola lebih dari 60%, hanya saja keberuntungan sedang tidak memihak tim yang identik dengan warna biru langit ini.

Perjalanan Manchester City musim ini diawali dengan situasi berbeda dimana mereka tidak diperkuat lagi oleh Sergio Aguero. Penyerang yang sudah memperkuat Manchester City sejak kurang lebih satu dekade dengan torehan 184 gol ini memilih untuk hijrah ke La Liga bersama Barcelona. Praktis tanpa pria asal Argentina, Manchester City hanya memiliki satu penyerang murni pada diri Gabriel Jesus.




Kondisi tersebut sepertinya memang sudah diantisipasi oleh Pep, ia mencoba untuk memasang beberapa pemain diposisi ujung tombak. Phil Foden, Ferran Torres, Bernardo Silva, hingga Jack Grealish bergantian bermain diposisi tersebut. Minimnya jumlah penyerang yang kemudian akan berdampak pada produktivitas nampaknya hanya menjadi isu belaka. Justru saat ini Manchester City menjadi tim yang paling produktif dengan raihan 55 gol. Berdiri persis dibelakang Liverpool dengan 58 gol.

Manchester City sebenarnya nyaris lebih sering main tanpa penyerang murni, pergerakan pemain yang begitu cair memungkinan seluruh pemain memiliki kesempatan untuk mencetak gol. Hal ini tentu menyulitkan lawan, sebab mereka tidak bisa hanya mengunci satu pergerakan pemain saja karena akan ada pemain lain yang datang entah itu dari kedua sisi atau dari tengah yang siap untuk menyelesaikan peluang.

Kondisi kembali berubah setelah Pep memutuskan untuk melepas kembali salah satu pemain depan yang sebenarnya berkontribusi cukup baik, yaitu Ferran Torres ke tim yang sama saat melepas Sergio Aguero, Barcelona. Ferran sempat mencetak 3 gol dan 1 asis sebelum pulang kampung ke Spanyol.

Manchester City Pep Guardiola Premier League
(Gambar : Reuters)

Melihat semakin menipisnya ketersediaan pemain depan, diiringi dengan ambisi untuk mempertahankan gelar liga, ditambah cita cita untuk meraih trofi Liga Champion yang pertama, bisa saja hal ini jadi masalah. Pep mesti mempertimbangkan banyak opsi untuk akhirnya apakah akan mendatangkan penyerang baru atau tidak.

Jika melihat daftar pencetak gol Manchester City musim ini, hampir semuanya pernah setidaknya mencetak satu gol secara merata. Dari semua pemain yang sering diturunkan, hanya Oleksandr Zinchenko yang belum mencatatkan namanya di daftar.

Di Premier League misalnya, Bernardo Silva dan Raheem Sterling merupakan pencetak gol terbanyak dengan torehan 7 gol, diikuti oleh Kevin De Bruyne dan Riyad Mahrez dengan 6 gol, Phil Foden 5 gol, dan Ilkay Gundogan 4 gol. Penyerang murni mereka, Gabriel Jesus bahkan baru mencatatkan 2 gol saja. Berbeda dengan beberapa musim lalu dimana mereka setidaknya memiliki satu orang dengan catatan gol yang mampu bersaing di daftar top score.

Pep sebenarnya sempat mengeluhkan situasi ini dimana ia cukup khawatir karena tidak mempunyai pemain dengan kemampuan mencetak gol yang luar biasa. Ia juga mencontohkan tim seperti Chelsea dan Manchester United yang memiliki penyerang dengan kualitas kelas wahid macam Romelu Lukaku dan Cristiano Ronaldo.


Meski memang hingga saat ini Manchester City belum menemukan masalah dalam sisi produktivitas, tetapi apakah memang sejatinya mereka tidak memerlukan sosok seorang striker?

Kembali jika bicara soal ambisi, rasanya bila Pep bersama dengan Manchester City ingin naik menuju tingkat yang lebih tinggi, opsi untuk mendatangkan penyerang harus dipertimbangkan.

Untuk musim ini tercatat Manchester City gagal untuk mencetak gol di 5 pertandingan lintas kompetisi. Bila hal ini terjadi di Premier League dampaknya mungkin tidak begitu signifikan karena masih banyak pertandingan lain, tetapi bila kejadiannya di turnamen dengan sistem gugur seperti Liga Champion, dimana satu gol bisa sangat mempengaruhi hasil, ini bisa menjadi musibah.

Dari 5 pertandingan tadi, Manchester City sebenarnya menguasai laga dengan sejumlah peluang yang akhirnya gagal dikonversikan menjadi gol. Salah satu pertandingan itu adalah ketika mereka bertandang ke markas PSG dibabak grup Liga Champion September lalu.

Manchester City UCL PSG

Di laga itu Manchester City kalah dua gol tanpa balas. Padahal De Bruyne dan kolega memiliki 7 peluang on target, sementara PSG dengan 3 peluang saja mampu melesakan 2 gol lewat Idrissa Gueye dan Lionel Messi. Ya memang meski kejadian ini hanya terjadi sekali-sekali saja, tetapi bila kejadiannya dipertandingan penting tentu akan bikin pusing.

Pep mesti cermat untuk mengatasi hal-hal apes semacam ini. Ketidakberuntungan memang sentiasa terjadi kapanpun dalam sepakbola, tetapi setidaknya peluang munculnya bisa diminimalisir. Secara kolektif Manchester City memang juara tapi ada saat-saat tertentu dimana kemampuan individu yang luar biasa dalam mencetak gol diperlukan juga.

Bila melihat rekam jejak Pep selama melatih, ia selalu dibekali dengan penyerang dengan insting gol yang buas. Di Barcelona, ia memiliki Lionel Messi dan David Villa, di Bayern ia punya Robert Lewandowski. Di Manchester City sosok itu ada pada Sergio Aguero.

Jendela transfer Januari tinggal menyisakan beberapa hari lagi. Masih ada kesempatan bagi Pep untuk bermeditasi memikirkan keputusan ini. Andai memang bukan sekarang masih ada kesempatan di bursa transfer musim panas yang artinya musim depan. Sebenarnya tersebar rumor yang mengaitkan pada nama Julian Alvarez. Pemain muda berusia 22 tahun yang saat ini memperkuat tim liga utama Argentina, River Plate.

Musim lalu ia mencatatkan 18 gol dan 6 asis. Spesialnya semua gol itu tidak ada satupun yang berasal dari tendangan penalti. Alvarez bisa jadi Alternatif bagi Pep bila ia mau. Atau lebih memilih menunggu hingga musim baru dan mendatangkan penyerang muda lainnya, yaitu Erling Haaland? Ya kita tunggu saja..


12/27/21

Nikmat Sepakbola Indonesia

Oleh : Ary Ditio Baihaqi (@arybaihaqi_10)


Tidak mesti bagi kamu mencintai sepakbola jika ingin mendukung tim nasional sepakbola Indonesia. Satu yang hanya perlu kamu miliki, yaitu perasaan menjadi Indonesia.


Negeri ini tidak pernah habis akan sensasi. Semua saling sikut hanya demi sebuah gengsi, yang kulihat belakangan ini satu sama lain malah saling ingin menghabisi. Betapa sedihnya melihat kondisi negeri ini.
 
Timnas Indonesia Piala AFF

Tetapi, semua itu seakan terdistorsi oleh sebuah sajian olahraga bernama Sepakbola. Negeri ini memang menggilai sepakbola bukan kepalang, lihat saja anak-anak atau remaja sekarang, mustahil jika ia tidak mengetahui satupun nama pemain sepakbola.

Carut marut kondisi negeri bisa seketika mereda dengan yang namanya Sepakbola. Apalagi jika itu yang bermain tim nasional Indonesia. Semuanya menyatu menjadi satu tanpa memandang suku atau apa klub sepakbola favoritmu.

Hal ini juga yang terlihat di tim nasional kita saat ini, mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan satu, Membawa bendera Merah Putih berkibar paling tinggi diantara bendera lainnya.

Sepakbola bahkan bisa membuat pendukungnya seperti kehilangan logika. Maksudnya untuk apa kamu semendukung, semeriah, sefanatis itu terhadap sebuah tim yang bahkan selama puluhan tahun tidak pernah menjadi juara? Apakah selama ini kamu mendukung dengan sadar?

Iya, saya dengan sepenuh hati dan sadar mendukung tim nasional Indonesia. Toh awal ketertarikan saya dengan sepakbola berawal dari Sepakbola Indonesia

Arti sepakbola tidak sesempit itu jika kamu mau tau. Dan, arti kata menang tidak sesempit hanya ketika kamu berdiri di podium juara. Menang, bisa diartikan ke dalam konteks yang luas dan tidak seorangpun bisa menyempitkannya.

Ini bukan soal apa hasil pertandingannya, ini tidak melulu soal seperti apa cara mainnya, dan ini tidak selalu soal sebergengsi apa turnamennya. Tetapi, yang terpenting adalah sebesar dan sekeras apa usaha yang telah diberikan pemain untuk kami para pendukung yang sudah setia meneriaki kalian sepanjang waktu.

Ini bukan soal melebih-lebihkan, ini bukan soal overproud atau istilah asing lainnya. Tetapi ini adalah rasa cinta yang teramat besar untuk sesuatu yang dibanggakan.

Maka dalam dalam hal ini, Menang bukan hanya sekedar angka, Menang bukan hanya sekedar senang. Tetapi seberapa besar darah dan keringat yang telah kamu keluarkan untuk berjuang.

  
Pendukung Indonesia selalu hadir setiap waktu. Pendukung Indonesia selalu ada dimanapun dan di keadaan apapun. Saya rasa untuk urusan kesetiaan dan rasa sayang, pendukung Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi kualitasnya.

Tetapi, terkadang, kita sebagai pendukung ada kalanya sedih dan kecewa. Protes atau berkata kasar sebagian dilakukan atas dasar kesukaan. Tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah: benci terhadap federasi boleh, terhadap pemain mungkin saja, tetapi tidak dengan tim nasional-nya.

Pendukung Indonesia adalah golongan manusia yang paling sering dibuat frustasi oleh ekspektasi. Satu waktu diangkat setinggi-tingginya, kemudian di satu waktu lagi dijatuhkan kembali. Tetapi, hingga sekarang saya belum pernah dengar ada orang yang memilih untuk menyerah dan pulang.

Oleh sebab itu, jika kamu adalah Indonesia, maka bersyukurlah bahwa kamu hidup disebuah negara yang gila dengan sepakbola. Sebuah olahraga yang bisa mengalahkan logika, sebuah olahraga yang terkadang tidak peduli menang atau kalah, juara atau tidak. Sebuah olahraga yang menyatukan seluruh orang tanpa memandang apa-apa.

Kesini, duduklah bersama kami dan keluarkan teriakan terkerasmu untuk para punggawa Garuda..


9/03/21

Apa yang Bisa Tomiyasu Berikan Untuk Arsenal?

Oleh : Ary Ditio Baihaqi (@arybaihaqi_10)

Arsenal kembali menjalani tren buruk di Premier League, seolah menjadi lanjutan dari apa yang dialami musim lalu, yang membuat mereka harus rela duduk diposisi ke delapan klasemen akhir, plus kehilangan kesempatan untuk main dikompetisi tertinggi antar klub Eropa, Liga Champion untuk kesekian kalinya.

Tomiyasu Arsenal Bologna

Awal musim ini, Arsenal telah kalah di tiga pertandingan awal tanpa sekalipun mencetak gol dan sudah kebobolan 9 gol. Pertandingan terakhir menjadi puncak rasa sakitnya, setelah mereka diluluh lantakan tak berdaya oleh agresifitas Manchester City dengan 5 golnya.

Untuk pertama kalinya sejak terakhir 67 tahun yang lalu, Arsenal gagal mendapatkan poin dari tiga laga awal. Sebuah rekor yang semua pendukung Arsenal berharap untuk tidak diulangi kembali namun akhirnya terjadi.

Dari semua permasalahan yang menghinggapi kubu Meriam London, pertahanan menjadi yang paling kena sorotan. Pertama koordinasi antar pemain yang tidak berjalan baik, sehingga pemain lawan sering kali masuk dan menguasai bola dengan leluasa di area kotak penalti.

Baca Juga : Jalan Takdir yang Mengantarkan Mehdi Taremi Bersama FC Porto

Kedua kemampuan bertahan individu yang buruk, para pemain belakang Arsenal sering terlihat kesulitan menjaga, mengantisipasi, melakukan tekel atau intersep terhadap lawan yang ada di area permainannya.

Contohnya ketika berhadapan dengan Chelsea, dimana Pablo Mari saat itu terlihat sangat kepayahan menjaga pergerakan Lukaku yang eksplosif, sehingga membuahkan gol untuk sang penyerang asal Belgia.

Juga ketika berhadapan dengan Manchester City, yang memperlihatkan bahwa dengan menaruh banyak pemain di area kotak penalti tidak otomatis membuat pertahanan menjadi sulit untuk ditembus. Buktinya beberapa kali Ferran Torres dan Gabriel Jesus punya banyak momentum yang berbahaya dengan bola.

Arteta sebenarnya telah mengetahui kelemahan ini sejak awal, ia berusaha untuk membenahi sektor pertahanan dengan mendatangkan Nuno Tavares yang berposisi bek kiri dan Ben White berposisi bek tengah.


Namun keduanya belum memberikan impresi yang positif. Nuno Tavares baru main beberapa menit sebagai pemain pengganti, sementara Ben White yang diberi kesempatan main dari awal menghadapi Brentford dipekan perdana tampil sangat mengecewakan. Menghimpun data statistik dari SofaScore, ia mendapat rating penampilan 6.4 atau yang terendah dari para pemain bertahan Arsenal lainnya.

Keadaan ini sangat berbahaya untuk keberlangsungan Arsenal musim ini, ambisi mereka untuk bangkit dari keterpurukan musim lalu bisa saja tidak terealisasikan. Maka dari itu perubahan harus segera dilakukan, salah satu solusinya adalah dengan mendatangkan amunisi baru yang sesuai dengan kebutuhan. Dan pilihan jatuh pada seorang pemain yang bernama Takehiro Tomiyasu.

Mau Tulisan Kamu di Posting di Counterattack Football Blog? Yuk Jadi Guest Blog, kirim naskah kamu ke counterattackina@gmail.com sekarang!
 
Tomiyasu datang ke Arsenal dengan fakta bahwa ia adalah pemain muda yang paling berkembang di Serie A setidaknya dalam dua musim kebelakang. Tomiyasu menawarkan kemampuan yang bisa menolong Arsenal keluar dari jurang kesengsaraan.

Lantas apa yang bisa Tomiyasu berikan untuk Arsenal?

Tomiyasu adalah pemain bertahan multiposisi, bisa bermain sebagai bek kanan, tengah, atau kiri. Musim kemarin di Bologna ia rutin berganti peran sebagai bek tengah dan fullback kanan. Ini merupakan nilai lebih yang dimiliki oleh mantan pemain Sint Truiden ini sehingga ia bisa memberikan lebih banyak opsi bagi Arsenal.

Dari sisi teknik dalam bertahan, catatan statistik Tomiyasu juga mengungguli sebagian pemain bertahan Arsenal. Pertama dari jumlah intersep, musim lalu Ia berhasil melepaskan 51 intersep, jauh jika dibandingkan dengan Rob Holding (23), Gabriel (23), Kieran Tierney (20), dan Calum Chambers (14).

Persentase sukses duel udara juga dimenangkan oleh Tomiyasu yaitu sebesar 64,6%. Juga mengungguli catatan milik Pablo Mari (64,4%), Gabriel Dos Santos (60,5%), Calum Chambers (57,5%), Rob Holding (56%), dan Hector Bellerin (47,8%).

Kemudian jumlah tekel sukses, Tomiyasu unggul dengan catatan 29 tekel, jika dibandingkan dengan Rob Holding (21 tekel), Hector Bellerin (18 tekel), Gabriel (17 tekel), Kieran Tierney (17 tekel), dan Pablo Mari (11 tekel).

Tomiyasu Arsenal Jepang

Selain memiliki atribut bertahan yang menjanjikan, pemain timnas Jepang ini juga memiliki keahlian dalam melepaskan umpan-umpan progresif kedepan. Tomiyasu tidak jarang terlibat dalam membangun serangan dari belakang, itu merupakan kemampuan yang dimiliki oleh bek modern seperti dirinya.

Tetapi bagaimana Tomiyasu bisa cepat beradaptasi dengan gaya sepakbola Inggris yang berbeda dengan Italia?

Jika dilihat dari sepak terjangnya, Tomiyasu memiliki catatan positif soal bagaimana ia bisa beradaptasi dalam sebuah lingkungan yang baru. Awal karirnya di Eropa adalah ketika ia membela klub asal Belgia, Sint Truiden, setelah menunjukan penampilan gemilang bersama Avispa Fukuoka di Jepang.

Hanya dalam satu musim, ia mampu menyesuaikan diri dengan iklim sepakbola Belgia, terbukti dengan 27 penampilan dicatatkan selama musim 2018/19.



Di musim perdananya di Eropa, ia telah berhasil memikat hati Bologna, lalu kemudian ia pindah kesana, menuju kompetisi yang tingkatannya lebih sulit lagi, yaitu Serie A.

Dan terbukti kembali. Kali ini Tomiyasu hanya membutuhkan dua musim untuk menjadikan dirinya sebagai pemain muda potensial setelah apa yang di demonstrasikannya di Bologna. Semua ini bukan kebetulan, tapi merupakan hasil kerja keras yang dilakukannya selama ini.

Sebelum diresmikan Arsenal dengan biaya 23 Juta Poundsterling, Tomiyasu juga dirumorkan tengah dipantau oleh klub asal London lainnya, Tottenham Hotspurs. Tottenham juga sedang membutuhkan bek kanan dimana mereka cuma punya Matt Doherty diposisi tersebut.

Tetapi tawaran resmi tidak kunjung datang karena mereka akhirnya lebih memilih mendatangkan Emerson Royal dari Barcelona.

Sikap skeptis terhadap pemain Asia di Premier League sering kali terjadi, tetapi melihat apa yang ditawarkan Tomiyasu, ada baiknya kita coba untuk duduk dan saksikan saja apa yang dapat dilakukannya bersama Arsenal musim ini.


8/27/21

Saatnya Kai Havertz Unjuk Kemampuan Di Chelsea

Oleh : Ary Ditio Baihaqi (@arybaihaqi_10)

Awalnya Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa musim lalu Chelsea yang akan keluar sebagai juara Liga Champion. Semua terjadi seakan-akan memang Chelsea sudah ditakdirkan untuk meraih trofi si kuping besar, mulai dari pembagian grup yang relatif lebih mudah, hingga jalan menuju final yang terbilang mulus tanpa hambatan.

Kai Havertz Chelsea

Bandingkan dengan PSG, di fase grup sudah harus bersaing dengan dua tim kuat, Man United dan RB Leipzig, beruntung mereka bisa lolos dengan status sebagai juara grup dengan catatan 4 kali menang dan 2 kali kalah.

Di fase gugur, beruntun mereka dihadapkan dengan lawan-lawan berat, Barcelona, Bayern Munich, dan Man City. Nama terakhir menjadi pengubur asa Neymar dan kolega menjadi juara untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Semua penjelasan ini mungkin tidak bisa dikatakan sebagai penyebab utamanya, tetapi andai saja yang menjalani skenario tersebut adalah selain PSG, hasilnya bisa saja jadi lain.


Keberhasilan Chelsea membawa pulang trofi Liga Champion untuk yang kedua kalinya tidak lepas dari impak para pemain baru yang datang, salah satunya Kai Havertz. Spesialnya Havertz-lah yang menjadi penentu kemenangan berkat gol tunggalnya ke gawang Ederson.

Havertz datang ke Stamford Bridge berlabelkan pemain muda dengan potensi besar. Di usia yang belum genap dua puluh, Havertz bahkan telah menjadi andalan bagi Leverkusen sekaligus menjadi pemain termuda yang melakukan debut dalam sejarah klub yaitu di usia 17 tahun 126 hari.

Selama 3 musim memperkuat tim senior, Havertz telah mencatatkan 146 kali penampilan, menit bermainnya selalu membaik dari musim ke musim hingga posisi 11 utama permanen menjadi milikinya. Selama itu Havertz juga sukses menorehkan 46 gol dan 27 asis, posisi Leverkusen diklasemen akhir Bundesliga stabil ada di 5 besar.


Dengan apa yang diperlihatkan itu jelas menarik minat kesebelasan besar datang untuk merekrutnya, tercatat Bayern Munich dan Liverpool paling pertama dibarisan antrian. Hingga pada akhirnya pemuda kelahiran Aachen ini memilih Chelsea sebagai tempat pelabuhan karir selanjutnya, ditebus dengan uang sebesar 71 Juta Paun.

Diluar semua itu, sebenarnya apa yang melatarbelakngi Frank Lampard, pelatih Chelsea saat itu ngebet untuk mendatangkan si pemain berkebangsaan Jerman?

Gaya permainannya sangat unik, dengan tinggi (182 cm) badan itu sangat bagus untuk seorang pemain depan, tetapi yang paling penting adalah teknik dan ketenangannya dalam menguasai bola, dia datang untuk mencetak gol ucap Lampard mengutip dari Standard.

Selain dari sisi teknik, kemewahan lain yang dimiliki Havertz adalah kemampuan untuk bermain dibanyak posisi. Ia bisa main sebagai gelandang maupun penyerang dengan sama baiknya. Bahkan ketika di Leverkusen, torehan 16 golnya datang ketika ia diplot sebagai penyerang.

Meski musim perdananya di Chelsea berhasil membawa pulang trofi Liga Champion plus Super Cup, harus diakui bahwa penampilannya tidak secemerlang ketika ia di Leverkusen.

Havertz terlihat kesulitan untuk mengimbangi gaya permainan Premier League yang mengandalkan kekuatan dan kecepatan. Di beberapa pertandingan ia terlihat tidak nyaman ketika hendak menguasai bola, mendribel, atau memberikan umpan kepada rekan.


Hal ini membuatnya sempat kehilangan tempat diawal musim, dan itu mempengaruhi menit bermainnya yang otomatis juga mengalami penurunan.

Jika dibanding dengan musim terakhirnya ketika di Leverkusen, berdasarkan statistik catatan umpan kunci Havertz turun drastis dari 1,73 umpan perlaga jadi hanya 0,79 umpan saja. Jumlah gol juga mengalami penurunan, dari sebelumnya 18 gol menjadi 9 gol.

Sebenarnya wajar saja penurunan ini terjadi, begitu juga dengan rekan sejawatnya Timo Werner. Tidak setiap pemain memiliki waktu yang sama dalam menghadapi proses adaptasi, semua tergantung dari bagaimana lingkungan dan kondisi klub berjalan, serta rekan-rekan setim yang dapat membantu agar semuanya menjadi lebih mudah. Apalagi bagi pemain muda sepertinya.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa disini (Premier League) akan sangat berbeda dengan sepakbola Jerman. Disini sangat mengandalkan fisik, juga lebih banyak berlari. Aku tidak pernah membayangkan akan sesulit iniUcap Havertz dikutip dari Guardian. “Aku menjalani periode yang tidak baik, terutama untuk 6 bulan awal tambahnya.

Seperti apa yang dikatakan, periode waktu 6 bulan awal atau setengah musim memang terasa cukup sulit, ditambah ia juga pernah di diagnosa positif Covid-19 yang membuatnya harus absen di tiga pertandingan.

Kedatangan Thomas Tuchel menggantikan Frank Lampard menjadi titik balik bagi karirnya. Havertz kembali mengambil peran penting dalam skema permainan Chelsea. Permainannya membaik dan terlihat semakin percaya diri. Ketenangannya dalam menguasai bola mulai kembali terlihat.

Ia biasa bermain dibelakang striker dan diduetkan dengan gelandang serang muda lainnya seperti Mason Mount atau Christian Pulisic. Puncaknya Havertz menjadi penentu kemenangan Chelsea atas Manchester City di final Liga Champion berkat gol tunggalnya.

Kai Havertz Final UCL
Momen saat Havertz mencetak gol di Final Liga Champion (Pict: theguardian.com)
 
Musim ini diharapkan dapat menjadi pembuktian bagi seorang Kai Havertz. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, bukan tidak mungkin kita akan kembali melihat Havertz yang dulu ketika masih berseragam Leverkusen.

Dua pertandingan awal telah dilewati dengan sempurna, menang atas Crystal Palace dan Arsenal. Kedatangan pemain berpengalaman seperti Romelu Lukaku juga sangat berpengaruh, keduanya bisa menciptakan kombinasi permainan yang berbahaya di lini depan.

Lukaku dengan kekuatan dan insting mencetak golnya, Havertz dengan teknik dan visi permainannya, plus jangan lupa ada Mount, Pulisic, atau Werner bisa menambah opsi dan variasi permainan sesuai dengan tipikal lawan yang dihadapi.

Bila tak ada aral membentang, bukan tidak mungkin kita akan melihat Chelsea yang akan menjadi juara Premier League selanjutnya.


7/27/21

Belajar Dari Keteguhan Hati Seorang Emiliano Martinez

Oleh : Ary Ditio Baihaqi (@arybaihaqi_10)

Emiliano Martinez menjadi salah satu nama yang paling sering berseliweran di jagat berita dan media sosial setelah keberhasilan Argentina menjadi juara Copa America 2021. Yang membuatnya menjadi bahan obrolan tentu saja berkat aksi gemilangnya sepanjang turnamen, dan bagaimana saat ia berhasil menepis tiga eksekusi penalti Kolombia yang terjadi saat babak adu penalti di semifinal.

Emiliano Martinez Arsenal Aston Villa Argentina

Martinez sukses mensejajarkan namanya dengan Lionel Messi di headline berita, dan itu memang pantas, meskipun peranan vital Lionel Messi disepanjang turnamen dengan bukti sapu bersih gelar individual, tetap saja andil kiper berusia 28 tahun ini rasanya sama seperti apa yang Messi lakukan sepanjang turnamen.

Ajang Copa America 2021 menjadi puncak karir bagi Martinez sebagai pesepakbola yang telah ia bangun dan kembangkan bersama dengan Aston Villa di Premier League musim lalu. Ya, Aston Villa bersama dengan Martinez menjelma menjadi sebuah sensasi baru (meski tidak sedahsyat Leicester City yang menjadi juara) dengan beberapa kali menyulitkan kesebelasan ternama dan beberapa kali juga bolak balik papan atas klasemen liga.

Melihat apa yang telah dilakukannya selama dua musim ini membuat kita tergerak untuk memberikan applause. Apalagi jika tahu dari awal perjalanan karirnya, sulit untuk membayangkan dengan apa yang telah dicapainya kini dengan apa yang dilaluinya dulu.

Baca Juga :  Jalan Takdir yang Mengantarkan Mehdi Taremi Bersama FC Porto 

Emiliano Martinez lahir dan besar di Argentina. Ia memulai karir sepakbolanya di tim junior Independiente, tetapi ia tidak sampai memperkuat tim senior karena sebuah tawaran yang suatu hari datang dari kesebelasan besar Inggris, Arsenal. Sempat muncul kebimbangan dari pihak Martinez khususnya keluarga besar yang kurang setuju mengenai kepergiannya karena menganggap usia Martinez yang masih terlalu muda, yaitu 18 tahun.

Tetapi berkat tekad dan keyakinan yang kuat, ia memutuskan untuk menerima tawaran tersebut dan memulai petualangannya di negeri Ratu Elizabeth.

Musim 2011/12, adalah musim pertamanya di Inggris. Diposisi penjaga gawang Arsenal saat itu memiliki kiper muda berbakat lainnya asal Polandia, Wojciech Szczęsny yang lebih dipercaya untuk jadi pemain utama. Melihat peluang untuk bermain reguler hampir mustahil dan dia juga masih “anak baru” Arsenal kemudian “menyekolahkan” Martinez ke Oxford United yang bermain di kasta keempat Inggris atau biasa disebut League Two.

Mau Tulisan Kamu di Posting di Counterattack Football Blog? Yuk Jadi Guest Blog, kirim naskah kamu ke counterattackina@gmail.com sekarang! 

Dari sinilah perjalanannya sebagai “pemain pinjaman” bermula. Martinez terhitung telah dipinjamkan ke klub lain sebanyak enam kali mulai dari Oxford United tadi, Sheffield Wednesday, Rotherham United, Wolves, dan Reading. Ia juga pernah dipinjamkan keluar Inggris, tepatnya ke Spanyol untuk bermain bersama Getafe. Dari semua klub tersebut rata-rata adalah klub papan tengah kebawah dan performa Martinez juga tergolong biasa saja.

Sebelumnya, ketika saya masih sekolah dan menikmati sepakbola baik itu dari video gim atau tayangan di TV setiap akhir pekan, yang saya kenal dari Martinez hanyalah seorang kiper pengganti, atau istilah yang kurang enak di dengar adalah “cadangan mati”. Hampir tidak pernah melihatnya main atau mendengar bagaimana penampilannya.

Bertahun-tahun dihantui dengan ketidakpastian pasti akan sangat mengganggu pikiran bagi sebagian pemain profesional pada umumnya. Tetapi tidak untuk Martinez, ia terus berusaha, berlatih dengan sungguh-sungguh dan yakin kesempatan itu akan datang. Dan waktu yang ditunggu akhirnya tiba.

Juni 2020 ketika Premier League baru saja mulai kembali setelah jeda pandemi, Arsenal berhadapan dengan Brighton. Petaka menimpa Bernd Leno, ia mengalami cedera setelah tabrakan dengan Neal Maupay dan tidak dapat melanjutkan sisa laga, Martinez di plot sebagai kiper pengganti, sayangnya ia tidak mampu menyelamatkan Arsenal dari kekalahan setelah dua gol bersarang ke gawangnya.

Martinez dipercaya untuk mengisi posisi kiper utama di sisa musim tersebut, dengan rincian 9 pertandingan liga dan 3 pertandingan FA Cup. Di Liga ia berhasil membawa Arsenal menang lima kali, seri sekali, dan kalah sekali dengan catatan 9 kali kebobolan dan 3 kali nirbobol (cleansheet).

Emiliano Martinez Arsenal FA Cup
(Pict: Gettyimages.com)

Pencapaian terbaiknya bersama Meriam London ketika berhasil mengalahkan Chelsea di final FA Cup, Martinez bermain sangat baik di posnya dengan dua penyelamatan yang dilakukan meski statusnya hanya sebagai “kiper pengganti”. Tidak semua pemain yang memiliki pengalaman karir seperti Martinez mampu untuk menghadapi situasi yang sama. Ketika saat pembuktian itu datang, Martinez menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Hubungan yang tengah hangat-hangatnya tak disangka malah menjadi saat terakhir baginya menjadi bagian dari Arsenal. Mikel Arteta dilanda kegalauan ketika harus memilih siapa yang akan menjadi kiper utama musim depan, Martinez yang performanya sedang menanjak atau Leno yang telah pulih dari cedera. Keputusan akhirnya dibuat, Arsenal memilih Leno dan Martinez dipersilahkan untuk pergi.


Klub Premier League lainnya, Aston Villa menjadi yang paling berminat untuk mendapatkan servis sang kiper asal Argentina, dan kesepakatan akhirnya terlaksana.

Menuju Aston Villa yang musim sebelumnya berada dalam ancaman turun kasta bukan menjadi penurunan karir juga bagi Martinez, justru sebaliknya. Ia semakin bersinar dan berhasil membuat banyak penyerang di Premier League frustasi ketika berhadapan dengannya.


Martinez bermain semusim penuh dengan catatan 15 kali nirbobol (cleansheet), lebih baik dari beberapa kiper berpengalaman seperti Hugo Lloris (12 kali), David De Gea (9 kali), Peter Schmeichel (11 kali), dan Bernd Leno (11 kali). Ia juga menjadi kiper dengan persentase penyelamatan terbanyak kedua dengan catatan 76,8%, lebih baik dari catatan yang dimiliki oleh Ederson (75%) dan Alisson (74,8%).

Berkat penampilannya itu, ia mendapat panggilan dari Lionel Scaloni untuk memperkuat timnas Argentina. Tak mengherankan juga bila ia yang dipercaya untuk mengisi posisi kiper utama dibanding kiper lainnya, dan kemungkinan besar seterusnya mengingat beberapa nama seperti Franco Armani dan Agustin Marchesin mulai dimakan usia.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan karir Emiliano Martinez adalah bagaimana usaha keras tidak akan mengkhianati hasil. Siapa sangka dulunya kiper yang hanya bolak balik bermain di divisi bawah kini menjadi kiper nomor satu di negaranya. Bahkan, saat ini Martinez menjadi kiper Argentina dengan harga pasar termahal, yaitu sebesar €35 Juta Euro.

Sukses untuk orang-orang yang terus berjuang.