Tujuan utama dalam sepakbola adalah untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan dan mencegah sebisa mungkin agar lawan tidak mencetak gol ke gawang kita. Untuk mencapai tujuan tersebut setiap tim harus mempertimbangkan taktik dan strategi agar dua entitas yang sakral, yaitu pertahanan dan penyerangan bisa berjalan dan bersinergi untuk meraih tujuan yang hendak dicapai, yaitu kemenangan.
Namun dalam praktiknya, tidak semua tim mampu menjalankan kedua unit entitas ini dengan sempurna, ada yang bagus ketika menyerang tetapi payah ketika bertahan, ada juga yang kuat dalam bertahan tetapi tidak cukup baik dalam mengorkestrakan serangannya. Disinilah fungsi dari pelatih kepala untuk menganalisa, membaca situasi, memahami kondisi dan memberikan instruksi untuk menghadapi lawan. Maka dari situ muncul sebuah pencitraan yang membedakan mana tim yang berfilosofi menyerang dan bertahan. Semua itu tak lepas dari bagaimana seorang pelatih dalam menangani timnya, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi citra tim tersebut.
Taktik sepakbola terus mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Dulu pernah ada masa dimana sebuah tim bermain dengan 5 penyerang, 3 gelandang, dan hanya 2 pemain belakang. Formasi ini menjadi tren hampir diseluruh tim khususnya di Eropa. Menyerang dan terus menyerang dianggap sebagai hal yang lebih penting dan diutamakan. Namun, perlahan cara main seperti itu mulai ditinggalkan (kecuali dalam keadaan terdesak) ketika sektor pertahanan mulai dianggap menjadi suatu pembeda di dalam sebuah pertandingan.
Baca Juga : Kemilau Bintang Muda Britania, Mason Greenwood
Dari awalnya muncul istilah Catenaccio di Italia yang memperlihatkan bagaimana sebuah tim mampu memperagakan sistem pertahanan yang kokoh dan sulit ditembus. Kemudian beberapa pelatih yang muncul dengan ide permainan yang tidak melulu soal menyerang, tetapi bagaimana bisa kuat ketika dihadapkan dalam situasi bertahan. Pelatih yang bisa membaca situasi dan menerapkan taktik sesuai dengan lawan yang dihadapi, hal ini kemudian disebut sebagai pragmatisme dalam sepakbola.
Ilustrasi Catenaccio yang diperagakan oleh Italia
Pragmatisme yang di identik dengan permainan bertahan (walau secara harfiah bukan begitu) sejatinya menimbulkan pro dan kontra dikalangan penonton. Ada yang merasa bahwa bermain bertahan dan hanya mengincar momentum serangan balik terasa membosankan, tidak sesuai dengan nilai inti dari sepakbola itu sendiri yaitu menghibur bagi orang yang menontonnya, juga tim yang hanya fokus menumpuk pemainnya dibelakang dinilai tidak layak untuk menang dari tim yang berusaha untuk membongkar pertahanan lawan dan berbagai anggapan miring lainnya.
Lantas apakah tim yang unggul dalam indikator menyerang bisa dikatakan lebih layak untuk selalu menang dibandingkan dengan tim yang “cuma” bertahan? Apakah gaya permainan pragmatis tidak lebih baik dari permainan yang hanya fokus untuk menyerang?
Pertama-tama kita harus memahami dulu makna dari kata pragmatis itu sendiri. Menurut Cambridge Dictionary Pragmatis adalah kualitas menangani masalah dengan cara yang masuk akal yang sesuai dengan kondisi yang benar-benar ada, daripada mengikuti teori, ide, atau aturan tetap. Artinya, Pragmatisme lebih mengutamakan praktik dalam situasi yang sebenarnya tentang apakah cara yang dilakukan untuk mengatasi suatu masalah berhasil atau tidak, daripada hanya berpegang pada teori, ide, dan segala aturan tertulis lainnya.
Jika mengarahkannya ke dalam sepakbola, Pragmatisme bisa di ilustrasikan sebagai tindakan atau respon sebuah tim terhadap apa yang diberikan oleh lawannya. Jika lawan yang dihadapi secara kualitas lebih baik dan menginisiasi untuk menyerang, maka respon terhadap apa yang dilakukan lawan adalah dengan bertahan dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak kebobolan, karena bertahan dinilai sebagai opsi yang lebih masuk akal untuk memperbesar peluang menang diakhir laga daripada mencoba untuk frontal menyerang. Dari pengartian tersebut bisa dikatakan bahwa sepakbola pragmatis tidak selalu diartikan dengan bermain bertahan atau menumpuk seluruh pemain dibelakang. Ini hanya salah satu cara yang digunakan tim untuk memenangkan pertandingan, atau dalam skala yang lebih besar yaitu kejuaraan atau kompetisi.
Perumpamaan terbaik yang bisa diberikan adalah bagaimana perjuangan Yunani menjuarai EURO pada tahun 2004 silam. Tidak ada yang menyangka sama sekali bahwa tim sekelas Yunani saat itu, tanpa pemain-pemain hebat berkelas dunia ternyata bisa mempecundangi unggulan seperti Spanyol, Perancis, dan tuan rumah Portugal. Otto Rehhagel selaku pelatih merupakan orang yang paling berjasa untuk menjadikan sesuatu yang bahkan tidak pernah mereka mimpikan itu ternyata menjadi kenyataan.
Lantas apakah tim yang unggul dalam indikator menyerang bisa dikatakan lebih layak untuk selalu menang dibandingkan dengan tim yang “cuma” bertahan? Apakah gaya permainan pragmatis tidak lebih baik dari permainan yang hanya fokus untuk menyerang?
Pertama-tama kita harus memahami dulu makna dari kata pragmatis itu sendiri. Menurut Cambridge Dictionary Pragmatis adalah kualitas menangani masalah dengan cara yang masuk akal yang sesuai dengan kondisi yang benar-benar ada, daripada mengikuti teori, ide, atau aturan tetap. Artinya, Pragmatisme lebih mengutamakan praktik dalam situasi yang sebenarnya tentang apakah cara yang dilakukan untuk mengatasi suatu masalah berhasil atau tidak, daripada hanya berpegang pada teori, ide, dan segala aturan tertulis lainnya.
Jika mengarahkannya ke dalam sepakbola, Pragmatisme bisa di ilustrasikan sebagai tindakan atau respon sebuah tim terhadap apa yang diberikan oleh lawannya. Jika lawan yang dihadapi secara kualitas lebih baik dan menginisiasi untuk menyerang, maka respon terhadap apa yang dilakukan lawan adalah dengan bertahan dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak kebobolan, karena bertahan dinilai sebagai opsi yang lebih masuk akal untuk memperbesar peluang menang diakhir laga daripada mencoba untuk frontal menyerang. Dari pengartian tersebut bisa dikatakan bahwa sepakbola pragmatis tidak selalu diartikan dengan bermain bertahan atau menumpuk seluruh pemain dibelakang. Ini hanya salah satu cara yang digunakan tim untuk memenangkan pertandingan, atau dalam skala yang lebih besar yaitu kejuaraan atau kompetisi.
Perumpamaan terbaik yang bisa diberikan adalah bagaimana perjuangan Yunani menjuarai EURO pada tahun 2004 silam. Tidak ada yang menyangka sama sekali bahwa tim sekelas Yunani saat itu, tanpa pemain-pemain hebat berkelas dunia ternyata bisa mempecundangi unggulan seperti Spanyol, Perancis, dan tuan rumah Portugal. Otto Rehhagel selaku pelatih merupakan orang yang paling berjasa untuk menjadikan sesuatu yang bahkan tidak pernah mereka mimpikan itu ternyata menjadi kenyataan.
Momen saat Angelos Charisteas mencetak gol ke gawang Portugal pada Final EURO 2004
Rehhagel sadar akan kualitas timnya yang tidak sebanding dengan lawan yang dihadapi. Yunani tidak memiliki pemain seperti Zidane atau Luis Figo yang piawai dalam mengkreasikan serangan, atau pemain seperti Van Nistelrooy atau Milan Baros yang kuat akan insting mencetak golnya. Yunani adalah tim yang pas-pasan. Dengan keadaan seperti itu apakah memaksakan dengan bermain menyerang dan berusaha untuk mencetak gol banyak-banyaknya adalah cara terbaik untuk setidaknya meraih hasil? Tentu saja tidak. Maka dari itu pendekatan terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan bertahan, bermain lebih kedalam dan menunggu momen untuk menyerang balik.
Semua diputuskan berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu, bukannya ngeyel dan keras kepala untuk tetap memaksa menyerang. Harus dilihat dulu apakah sebuah tim memiliki kapasitas untuk melakukan itu semua atau tidak, dan kalau memang dirasa tidak bisa kenapa harus memaksa supaya bisa? Oleh sebab itu kata pragmatis sering sama artikan dengan bermain bertahan karena kondisi ini sering terjadi pada tim yang mengharuskan mereka untuk bermain bertahan.
Yang ingin ditekankan disini adalah, Pragmatis itu adalah sebuah pilihan. Semua tim atau pelatih bebas untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan untuk mendapatkan tujuannya. Itu berarti, tim yang dianggap kuat pun juga boleh untuk bermain pragmatis. Tidak ada salahnya. Terbukti Mourinho dengan filosofi dan gaya permainannya yang dinilai “membosankan” itu ternyata menyumbang banyak trofi ke beberapa tim papan atas seperti Chelsea, Porto, Real Madrid, dan Man United.
Semua diputuskan berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu, bukannya ngeyel dan keras kepala untuk tetap memaksa menyerang. Harus dilihat dulu apakah sebuah tim memiliki kapasitas untuk melakukan itu semua atau tidak, dan kalau memang dirasa tidak bisa kenapa harus memaksa supaya bisa? Oleh sebab itu kata pragmatis sering sama artikan dengan bermain bertahan karena kondisi ini sering terjadi pada tim yang mengharuskan mereka untuk bermain bertahan.
Yang ingin ditekankan disini adalah, Pragmatis itu adalah sebuah pilihan. Semua tim atau pelatih bebas untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan untuk mendapatkan tujuannya. Itu berarti, tim yang dianggap kuat pun juga boleh untuk bermain pragmatis. Tidak ada salahnya. Terbukti Mourinho dengan filosofi dan gaya permainannya yang dinilai “membosankan” itu ternyata menyumbang banyak trofi ke beberapa tim papan atas seperti Chelsea, Porto, Real Madrid, dan Man United.
Mourinho yang sukses dengan filosofi Pragmatisnya
Kita tidak bisa mengatakan kalau tim yang bertahan itu tidak seharusnya meraih apapun dalam pertandingan dan memandangnya dengan hina. Bermain bertahan juga tidak kalah sulitnya dengan menyerang. Banyak hal yang harus dilakukan dan diperhatikan untuk bisa membuat sistem pertahanan yang efektif dan terorganisir. Menjaga bentuk formasi, memperhatikan pergerakan lawan, menunggu waktu yang tepat kapan untuk saatnya mengambil bola, menyusun serangan balik yang efektif, dan masih banyak detail lainnya.
Ibarat dalam sebuah medan perang, tinggal bagaimana pemimpin pasukan memutuskan untuk menggunakan senjata yang mana, senapan laras panjang atau tombak dan pedang. Tidak ada aturan yang mengekang harus menggunakan yang mana, bebas mana saja yang penting mereka yakin kalau senjata yang digunakan itu bisa untuk mendekatkan mereka kepada tujuan yang ingin dicapai. Dalam dunia sepakbola modern saat ini, saya menganggap pragmatis adalah sebuah keniscayaan. Pelatih yang dinilai sebagai idealis, nyatanya saat ini dihadapkan dengan sebuah pilihan yang mengharuskannya menyingirkan pemikirannya untuk sementara waktu.
Jurgen Klopp awalnya sangat ngotot tetap berpendirian dengan gegenpressing-nya. Namun, ternyata hal itu tidak berlangsung baik dalam periode yang lama. Untuk memperbaikinya, sekarang Liverpool tidak melulu melakukan pressing ketat dengan intensitas yang tinggi. Kalau dulu harus menang dengan skor telak, sekarang hanya selisih satu gol pun tidak masalah yang penting tiga poin aman. Terbukti Juara Liga Champion dan Premier League musim lalu adalah hasilnya.
Atau Pep Guardiola, pelatih yang dikenal identik dengan ide dan taktik menyerangnya yang ajaib ternyata merasa bahwa tidak sedikit sentuhan pragmatis yang ia berikan ke dalam timnya. "The people say ‘you have to be more pragmatic, more clinical’. More pragmatic than me? I’m sorry. Like numbers - pragmatic is numbers. When we’re talking about pragmatic we’re not talking about ‘the way’ or something to discuss about football - it’s numbers. And numbers, I am good".
Keindahan dan nilai estetik dalam sepakbola bukan hanya sekedar menyerang saja. Ada sesuatu yang banyak orang tidak mau lihat keindahan tersendiri dari seni bertahan. Kembali lagi, semua kembali kepada preferensi masing-masing dalam menikmati sepakbolanya.
Ibarat dalam sebuah medan perang, tinggal bagaimana pemimpin pasukan memutuskan untuk menggunakan senjata yang mana, senapan laras panjang atau tombak dan pedang. Tidak ada aturan yang mengekang harus menggunakan yang mana, bebas mana saja yang penting mereka yakin kalau senjata yang digunakan itu bisa untuk mendekatkan mereka kepada tujuan yang ingin dicapai. Dalam dunia sepakbola modern saat ini, saya menganggap pragmatis adalah sebuah keniscayaan. Pelatih yang dinilai sebagai idealis, nyatanya saat ini dihadapkan dengan sebuah pilihan yang mengharuskannya menyingirkan pemikirannya untuk sementara waktu.
Jurgen Klopp awalnya sangat ngotot tetap berpendirian dengan gegenpressing-nya. Namun, ternyata hal itu tidak berlangsung baik dalam periode yang lama. Untuk memperbaikinya, sekarang Liverpool tidak melulu melakukan pressing ketat dengan intensitas yang tinggi. Kalau dulu harus menang dengan skor telak, sekarang hanya selisih satu gol pun tidak masalah yang penting tiga poin aman. Terbukti Juara Liga Champion dan Premier League musim lalu adalah hasilnya.
Atau Pep Guardiola, pelatih yang dikenal identik dengan ide dan taktik menyerangnya yang ajaib ternyata merasa bahwa tidak sedikit sentuhan pragmatis yang ia berikan ke dalam timnya. "The people say ‘you have to be more pragmatic, more clinical’. More pragmatic than me? I’m sorry. Like numbers - pragmatic is numbers. When we’re talking about pragmatic we’re not talking about ‘the way’ or something to discuss about football - it’s numbers. And numbers, I am good".
Keindahan dan nilai estetik dalam sepakbola bukan hanya sekedar menyerang saja. Ada sesuatu yang banyak orang tidak mau lihat keindahan tersendiri dari seni bertahan. Kembali lagi, semua kembali kepada preferensi masing-masing dalam menikmati sepakbolanya.